Polusi Notifikasi yang Mengancam Kita

Foto: freestocks / Unsplash

Sebelum aplikasi-aplikasi di gadget menyerang, sebelum medsos semasif hari ini, sebelum android menjadi sistem operasi yang lebih bersahabat dalam menemani hari-hari saya, semuanya nampak baik-baik saja. Hingga akhirnya…

Suatu sore yang cukup panas, saya selonjoran dengan buku di tangan dan smartphone yang (tentu saja) berada tak jauh dari genggaman. Pada lembaran awal saya membaca buku dengan begitu khidmat, namun tak berapa lama, sedikit demi sedikit saya mulai terdistraksi. Coba tebak, hal apa yang membuat saya terdistraksi?

Ya, benar, gangguan itu berasal dari notifikasi smartphone yang berada tak jauh dari saya. Notifikasi ini bikin penasaran. Saking penasarannya, alih-alih menghabiskan halaman per halaman, saya malah lebih tertarik untuk membuka berbagai notifikasi yang masuk.

Notif whatsapp, notif twitter, notif email, dan notif-notif lainnya seolah saling memburu. Seperti ada keharusan untuk membuka semuanya, padahal nggak penting-penting amat. Kalau sudah begini, berasa nanggung apabila nggak buka instagram, apalagi feeling sedang kuat karena di jam-jam tersebut gebetan selalu posting foto dan IG stories teranyar.

Pada titik ini buku yang hendak saya baca tak lagi menarik. Semuanya kalah oleh polusi notifikasi. Ya, dentuman suara notifikasi itu layaknya polusi, mengganggu dan bikin pengap.

Contoh lain, saat saya sedang berkumpul bersama beberapa kawan untuk berdiskusi atau sekedar ngobrol ngalor-ngidul, suara-suara notifikasi yang berasal dari smartphone selalu saja ngalahin serunya obrolan saya bersama kawan. Kalaupun saya menyimak obrolan kawan, jika ada satu saja suara notif pada smartphone yang masuk, saya pasti dengan segera membukanya. Urusan obrolan dengan kawan bisa menjadi sekunder bahkan tersier.

Jika polusi udara—seperti yang sudah kita ketahui pada umumnya—dapat menyebabkan masalah saluran pernafasan, polusi notifikasi, —dalam kasus contoh pengalaman saya misalnya—dapat menyebabkan kemalasan, dalam hal ini membaca dan bersosialisasi. Bagaimana saya yang tadinya berniat membaca atau berdiskusi dengan kawan harus kalah oleh keinginan untuk membuka notif yang masuk pada smartphone.

Sebentar, lah kok saya jadi me-generalisir gini, padahal emang pada dasarnya saya yang malas. Bisa saja hanya saya yang “kalah” sama notif-notif ini. Kamu-kamu mah nggak, kan?

“Jangan terlalu lama di media sosial dan mengikuti isu kekinian. Kembali ke buku. Ulas buku itu. Bila kalian mengulas 10 buku berarti kalian sudah membaca 10 buku.” ~ Zen RS

Bisa jadi apa yang dikatakannya adalah benar. Jika kita cermati dari kutipan di atas, Zen ini hanya mencoba memperingatkan. Coba baca lagi, JANGAN TERLALU LAMA. Itu berarti tidak ada yang salah jika kita bergelut dengan media sosial, tapi ya jangan lama-lama sampai-sampai lupa pada aktivitas utama.

Ternyata, apa yang saya alami (dan mungkin juga kalian alami) merupakan satu fenomena yang disebut “Fear of Missing Out” atau FoMO. Fenomena ini biasanya terjadi saat kamu membuka akun jejaring sosial: twitter, facebook, instagram atau aplikasi messenger: whatsapp, line, bbm (lah masih ada yang pake bbm, hehehe) lalu mengetahui teman-teman kamu yang tampaknya sedang asyik ngebahas satu topik atau isu-isu terkini, dan kamu sedih atau merasa tertinggal karena nggak dapat mengikuti obrolan tersebut, bahkan nggak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.

Nah, situasi dan kondisi seperti ini yang biasanya menggerakkan kita untuk tetap berkeinginan agar tetap terhubung dengan media sosial atau aplikasi lain pada gadget secara terus menerus. Bisa jadi karena ada keinginan untuk tidak disebut “ketinggalan zaman”, atau dorongan eksistensi diri yang ingin coba ditonjolkan.

Dr. Andy Przybylski seorang psikolog yang juga ketua peneliti dari University of Essex Inggris menyarankan agar setiap orang belajar untuk mengendalikan penggunaan media sosial, terutama mengurangi frekuensinya menjadi sedang atau biasa-biasa saja. Jika tidak, fenomena ini akan menciptakan aspek pedang bermata dua dari penggunaan media sosial.

Selain berhasil menciptkan sebuah metode untuk mengukur tinggi rendahnya kadar FoMO yang dimiliki seseorang, (dari salah satu studi ) peneliti ini juga menemukan bahwa orang-orang yang berusia 30 tahun ke bawah terlihat mempunyai kecenderungan paling tinggi mengalami FoMO dibandingkan kelompok usia lainnya.

Nah, kiranya pernyataan Zen dan Andy Przybylski mengajak kita untuk menggunakan media sosial secara wajar. Karena ternyata, untuk generasi milenial seperti saya, ada yang tak kalah berbahaya dari polusi udara, yakni polusi notifikasi.