Gulat Benjang Pamungkas

gulat benjang pamungkas

Berkat kejatuhan Orde Baru, gulat benjang bisa disaksikan lagi di depan umum sejak awal tahun 2000. Pasalnya, benjang dianggap sebagai sumber tawuran di Ujungberung pada 1970-an. Apalagi, konon bentrokan pernah pecah antara warga dengan aparat TNI.

Mungkin belum banyak yang tahu soal benjang ini. Beberapa kali pernah dijadikan video dokumenter dan liputan beritanya, tapi baru kali ini saya menonton benjang dalam format film, meski ditargetkan sebagai "film edukasi". Gulat Benjang Pamungkas setidaknya berusaha memperkenalkan seni beladiri ini.

Premis Gulat Benjang Pamungkas memakai tipikal kisah orang kota yang pindah ke desa dan berusaha beradaptasi dengan lingkungan barunya. Di sini Fajar harus pindah ke Cilengkrang, Ujungberung, karena ayahnya ditugaskan di kelurahan setempat.

Benjang dan Ujungberung erat kaitannya. Seni beladiri ini tumbuh dan berkembang saat masa kolonial di Karesidenan Ujungberung, yang sekarang berada di kawasan Timur Bandung ini. Benjang berkembang di kalangan santri pesantren dan menjadi sebuah permainan. Namun kemudian dilarang oleh pemerintah kolonial saat itu karena kekhawatiran terciptanya penghimpunan kekuatan untuk memberontak.

gulat benjang pamungkas

Cilengkrang dipilih sebagai latar Gulat Benjang Pamungkas, beberapa kali kita bisa melihat selintas lanskap Kota Bandung dari kejauhan di film ini. Fajar si anak kota baru pindah ke sini, ia masih siswa sekolah menengah pertama. Di awal film kita melihat beberapa anak yang sedang berlatih gulat benjang, Fajar dan ayahnya kebetulan melintas, tapi Fajar merasa belum kerasan di tempat baru ini.

Kemudian selanjutnya ditampilkan antagonis yang jago benjang. Di sekolah, Fajar terlibat suatu insiden dengannya, yang karenanya memecahkan piala lomba benjang milik guru mereka. Kesalahan itu ditimpakan pada Fajar. Dari sini, Fajar mulai melirik benjang dan merasa harus membuktikan dirinya lewat seni beladiri ini.

Menonton sepuluh menit pertama, saya langsung teringat film The Karate Kid (2010). Terutama soal orang luar yang mencoba mempelajari tradisi di tempat pindahnya dan bagaimana cara beradaptasi dengan lingkungan baru.

Mengetahui kalau ini film "proyek pemerintah" dengan embel-embel edukasi, saya sudah mengendurkan ekspektasi. Soal eksekusi teknis film ini, dari dialog, akting sampai pengambilan syut masih terbilang semenjana, hampir setara tugas film anak SMA.  

Soal pemilihan musik latarnya banyak menggunakan musik berlisensi gratis dan kebanyakan musik instrumental Sunda (yang memang tak dilisensikan) sehingga terkesan seperti video-video YouTube. Padahal, di akhir film saat pagelaran ditampilkan nayaga atau pemain musik yang memang sering ditampilkan beriringan dengan benjang. Sangat disayangkan kenapa tak meminta bantuan mereka, misalnya lewat merekam saat mereka tampil.

Setidaknya, Gulat Benjang Pamungkas telah menyorot satu kesenian tradisi yang tak banyak orang tahu ini, meski tak terlalu mendalam, misalnya menjelaskan aspek-aspek sejarah gulat benjang seperti yang saya tulis di paragraf-paragraf awal.