Si Kabayan dan Cilok Kuah



Langit di Desa Gunung Halu mendung saat Iteung baru saja siduru. Ya, sehabis masak air untuk Abah, Iteung tak lantas beranjak dari dapur. Cuaca yang dingin memaksa Iteung betah berlama-lama menghangatkan badan. Dari ruang tamu, suara teriakan Abah menusuk ke telinga Iteung.

“Iteung, geus can naheur cai teh? Buru Abah dek mandi,” Teriak si Abah.

“Parantos, Abah,” Iteung menimpali “Tuh disimpen sisieun panto.”

Terganggu oleh interaksi mereka, Si Kabayan terbangun dari tidurnya.

“Hoaaamm…. Garandeng, ngaganggu wae aing keur sare teh,” cetus Kabayan.

Dengan terpaksa Kabayan bangun dari tidurnya, ia menuju dapur untuk menghampiri Iteung. Perutnya keroncongan, pertanda minta diberi asupan.

“Iteung, aya kadaharan teu?” Kabayan bicara kepada Iteung dengan senyum tak jelas. “Asa lapar kieu.”

“Maneh mah, hudang teh mun keur lapar weh. Euweuh, tuh aya ge aci. Terserah dek dikumahakeun kumaha maneh.” Iteung yang kaget akan kehadiran Kabayan menimpali dengan ketus sambil berlalu.

Kabayan berpikir sejenak. Rambutnya yang acak-acakan sudah mirip dengan foto Albert Einsten yang menghiasi dinding rumahnya.

“Hmmm enakna nyieun naonnya?” Pikir Kabayan.

Entah dapat hembusan angin apa, ia mendadak mendapatkan tenaga dan keinginan untuk membuat cilok. Ia teringat akan cilok mang Juned yang biasa mangkal di pasar, tak jauh dari rumahnya. Tapi ia bingung, ia tak tahu sama sekali cara membuat cilok. Pikirannya tak buntu, ia merogoh handphone dari saku celananya lalu membuka browser menuju www.google.com dan mulai mencari referensi.

Setelah menemukan tips membuat cilok, ia dengan segera membuat adonan. Pecin, garam, dan bumbu-bumbu tambahan lainnya ia aduk seperti petunjuk yang tertulis di layar handphone. Kelakuan Kabayan itu diketahui si Abah. Maklum, sebelum menuju wc, dapur adalah ruangan yang harus dilalui terlebih dahulu.

“Keur naon maneh?” Tanya si Abah

“Hehe… Nyieun cilok, Bah.”

“Nyieun sing loba, ke Abah menta.”

“Beres, Bah.” Kabayan menjawab dengan jempol diangkat ke atas.

Cilok sudah masak, Kabayan tinggal membuat bumbu kacang sebagai pelengkap agar cilok semakin terasa nikmat. Setelah selesai membuat bumbu kacang, Kabayan mencampur dan mengaduk cilok dengan bumbu kacang yang baru saja dibuatnya.

Saatnya menikmati, pikirnya. Namun, Kabayan merasa aneh dengan rasanya. Bukan, bukan rasa ciloknya yang terasa aneh. Ia justru merasa ada yang tidak beres dengan bumbu kacang yang dibuatnya. Hmm,,, Kabayan akhirnya menyadari kalau bumbu kacang yang dibuatnya ternyata haseum. Ini disebabkan karena campuran bahan dari bumbunya yang sudah basi. Kabayan tak kehabisan akal, ia terpikir untuk membuat cilok kuah, kuah ini terinspirasi dari kuah baso. Lalu dicampurkannya cilok ke kuah hangat yang baru dibikinnya. Hmmm yummy… Lezat, hangat, dan nikmat.

“Mana, Kabayan? Geus jadi can cilok teh?”

“Parantos, Bah. Yeuh!” Kabayan menyodorkan cilok yang dia campurkan dengan bumbu kacang yang belum sempat ia buang.

Tentu saja si Abah senang, ia melahap ciloknya.

“Cuiiih,,, Puh puh,,,” Si abah mengernyitkan dahi, dengan mimik kesal dan marah ia memandangi wajah si Kabayan.

“Nyieun naon maneh? Teu ngeunah kieu, dek ngaracun ka Abah?”

Emang kumaha rasana kitu Bah?

“Haseum kieu, teu ngeunah”

Si Abah pergi dengan gestur kesal. Sementara itu, Si Kabayan dengan tawa kecil mulai membuang bumbu kacang yang haseum itu. Ia lalu memasukkan cilok-ciloknya ke kuah yang sempat disembunyikannya.

“Wihhh,,, mantap. Cuaca kieu, ngemil cilok kuah haneut geus paling Juara,” ujarnya.

Kabayan mulai menikmati ciloknya sendirian, sesekali diseruput juga kuahnya yang gurih itu.

“Euuuuuu…” Kabayan teurab pertanda kenyang. [kay]