Apa Salahnya Baca E-Book?

Foto freestocks / Unsplash

Bagaimana rasanya jika pacarmu selalu membanding-bandingkanmu dengan kelebihan yang dimiliki oleh orang lain? Malesin sudah pasti, bete bisa jadi, yang paling membuat kesal tentu saja saat kamu tahu jika pacarmu itu sedikit demi sedikit mulai berpaling ke lain hati. Padahal kamu juga memiliki kelebihan yang enggak dimiliki oleh orang lain. Akhirnya, alih-alih bersiap menuju jenjang yang lebih serius, yang terjadi justru kamu malah ditikung dan terpaksa gigit jari.

Sepertinya, itu juga yang dialami oleh e-book (buku elektronik) yang kerap kali diminoritaskan dan dibanding-bandingkan dengan buku cetak. Saya kira, jika bisa bicara, ia (e-book) pasti akan curhat securhat-curhatnya.

Tak hanya ramai di dunia maya, perbandingan e-book dan buku cetak ini kadang-kadang ramai juga dibahas pada acara bedah buku, diskusi-diskusi, atau kelas-kelas literasi.

Memang, kemajuan teknologi membuat arus informasi yang didapat begitu mudah. Bahkan saat kamu merasa pendapatmu mengenai perdebatan e-book dan buku cetak itu memperoleh tantangan dari pihak lain, dengan teknologi sekarang, gampang saja untuk saling menyanggah dan silang pendapat dengan “lawan”. Entah itu saling silang pendapat melalui sosial media, e-mail, atau bahkan artikel di media daring.

Membahas e-book, saya jadi teringat kejadian beberapa Minggu ke belakang. Di mana saya dan beberapa kawan diharuskan membaca buku Atheis karya Achdiat K. Mihardja terbitan Balai Pustaka untuk dibahas dan didiskusikan bersama.

Kelompok yang akan membaca dan mendiskusikannya berjumlah 5 orang, sedangkan buku cetak yang tersedia hanya 2 buah. Di saat seperti inilah e-book datang dengan membawa kabar baik. Seorang kawan mengirimkan file buku Atheis berformat pdf di grup Whatsapp. Dia menawarkan saya dan teman lain yang tak kebagian buku cetak untuk membacanya. Saya dan beberapa teman lain yang tidak kebagian buku cukup membuka gawai untuk kemudian membacanya sampai tuntas sebelum kegiatan diskusi buku itu digelar.

Perihal meresensi atau membahas isi sebuah buku, entah itu membaca (lalu meresensi) melalui e-book atau buku cetak, tentu saja pendapat dan pengalaman membacanya akan berbeda-beda meskipun judul yang dibaca sama.

Bukti kecil jika membaca e-book (secara fungsi) ternyata sama saja dengan membaca buku cetak itu terbukti saat acara resensi. Acara saya dan kawan-kawan berjalan lancar berkat e-book Atheis itu tadi. Semua peserta resensi bisa tanya jawab dan berdiskusi dengan saling membagikan tanggapan dan pengalaman bacanya masing-masing tanpa melihat apakah dia membaca lewat e-book atau buku cetak.

Selain itu, menurut saya,  membaca tak melulu soal romantisme seperti dalam tulisan seorang Doel Rohim. Lalu, jika buku cetak dianggap telah menorehkan catatan panjang tentang sejarah peradaban dan kebudayaan manusia, bukankah dengan membaca e-book, secara tidak disadari kita juga sedang dalam tahap mencatatkan sejarah peradaban kebudayaan manusia: tentang kemodernan, tentang pesatnya teknologi informasi, tentang digitalisasi (buku) dan lain sebagainya.

Tak bisa dipungkiri kalau kita sedang masuk dalam tahap dunia modernitas, termasuk dalam e-book. Konon e-book menawarkan efektifitas dan efesiensi, sepengalaman saya, itu terbukti dan benar adanya, ya contohnya kejadian saat acara resensi dan diskusi novel Atheis seperti yang saya ceritakan.

Adapun pendapat yang bilang kalau dengan membaca lewat e-book dapat merusak mata, juga tak lagi mengapresiasi secara material, toh itu bisa juga terjadi di kasus buku cetak, kan?

E-book tak melulu gratis, deretan angka-angka sering saya lihat di berbagai platform buku digital untuk ditukar dengan sejumlah rupiah. Itu artinya kita sama-sama mengapresiasi, kan?

Penulis 24 jam bersama Gaspar, Sabda Armandio juga suka baca lewat e-book, enak katanya enggak berat-beratin tas. Iya juga sih…

Nah, jika melihat segmen pasar, adanya beberapa penerbit lokal yang nampak mulai melakukan digitalisasi buku dengan atau tanpa kerjasama bareng pihak lain, membuktikan bahwa kebutuhan akan e-book itu tetap ada.

Belum menyebarluasnya akses internet di Indonesia konon menjadi alasan lain e-book akan tetap berjalan di tempat. Tapi jika akses internet dianggap belum menyebarluas, bagaimana dengan penyebarluasan buku cetak di Indonesia?

Tanpa niat merendahakan arti dan keunggulan buku cetak, beberapa keunggulan membaca lewat e-book yang saya peroleh dari internet terbukti cukup membantu.

Internet menawarkan banyak hal, dari yang legal sampai yang ilegal, tapi selama ada kesempatan, bacalah! ~ Eka Kurniawan.

Dengan teknologi e-book saya bisa melanjutkan membaca Atheis-nya Achdiat saat ngumpul bareng teman tanpa perlu malu dibilang so Rangga (merujuk ke film AADC 1). Selain itu, saya juga bisa dengan santai membaca Enny Arrow di ruang tengah tanpa takut akan ketahuan oleh orang tua. Hehehe…

Oke, kesampingkan dulu perdebatan dan perbandingan antara e-book dan buku cetak, pada dasarnya e-book dan buku cetak bermuara pada satu hal: membaca. Maka sekali lagi saya tegaskan, selama ada kesempatan, bacalah!